Guru tidak harus terbelenggu oleh kurikulum formal |
Marilah kita meneropong kehidupan Rasulullah.
Muhammad Shallallahu ‘alayhi wasallam selalu memanggil orang-orang yang
mengikutinya dengan sapaan: sahabatku! Tidak pernah beliau dengan: muridku,
pengikutku, dan yang sejenisnya. Selalu beliau memanggil, “Sahabatku.” Luar
biasa! Efek psikologis yang muncul adalah rasa kedekatan. Tidak ada jarak
antara peran sebagai guru dan peran sebagai murid. Pada satu sisi, seorang
Muslim adalah murid yang memiliki semangat belajar membaca. Akan tetapi, ia
juga sebagai guru yang memberikan ilmunya secara ikhlas pada orang lain.
Kesadaran ini semestinya dimiliki oleh
Muslim Pembelajar. Setiap Muslim pada hakikatnya adalah seorang guru. Hasan
al-Banna, ketika membahas tentang proyek membangun peradaban menyebutkan
cita-cita tertinggi yang harus diraih adalah menjadi ustadziyatul ‘alam . (guru bagi alam semesta). Ya, menjadi guru,
saat ketika kita beramal tidak lagi berpikiran menerima tetapi memberi.
Menjadi guru yang saya maksud tidak
harus bersertifikasi. Tidak pula harus menunggu surat keputusan (SK). Tidak harus
ada sekelompok orang yang menyebut dirinya murid. Tidak menunggu berdirinya
bangunan yang disebut sekolah karena seluruh tempat yang kita datangi pada
hakikatnya adalah sekolah. Semangat untuk menjadi guru tidak pula dibelenggu
oleh kurikulum formal. Sebab, yang saya maksud dengan guru – dalam pembahasan
kita kali ini – bukanlah guru formalistik, yang menyadari pekerjaannya sebatas
formalitas.
Guru yang diidamkan Muslim Pembelajar
adalah guru inspiratif. Guru yang
memberikan ilmunya pada siapa pun atas dorongan iman. Guru yang menggerakkan
dan menginspirasi. Ia memantik kreatifitas (creative
thinking). Mengajak untuk melihat sesuatu dari sudut pandang yang beragam.
Perbandingan
Karakter Guru
Guru
Formalistik
|
Guru
Inspiratif
|
|
pasif
|
Mitra belajar
|
aktif
|
Satu arah
|
komunikasi
|
dialogis
|
Masalah yang dihadapi
|
fokus
|
Potensi mitra belajar
|
Jawaban instan (Giving answer)
|
Hasil
|
Struktur berpikir ilmiah (sharp mind)
|
Menerapkan satu cara, dari guru
|
Proses
|
Mengembangkan satu cara/alternatif
|
Menganggap orang lain sebagai murid
|
Pandangan terhadap orang lain
|
Mengangggap orang lain sebagai sahabat
|
Kutipan Buku:
Dwi Budiyanto, “Prophetic Learning”, hal. 221 – 223, Pro-U Media,
Yogyakarta.
Posted:
Slamet
Priyadi Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar