Minggu, 28 Juni 2015

"PENYAKIT KUNING PADA BAYI" By Hugh Jolly


Image: "Sita Rose" ( Foto: SP )
Sita Rose
SAMPAI akhir-akhir ini kerap kali dokter terikat oleh tugas memberikan transfusi pada bayi yang menderita penyakit kuning.  Teknik ini merupakan bagian pokok pengobatan penyakit kuning yang disebabkan penyakit rhesus atau kelahiran dini, atau penyebab lain yang lebih jarang pada anak yang baru lahir.  Pengobatan ini perlu untuk menghindari kerusakan pada otak yang dapat terjadi jika penyakit kuning itu mencapai tingkat yang berbahaya pada bayi yang baru lahir. Namun, akhir-akhir ini pemberian transfusi ini banyak berkurang setelah diketahui bahwa penyakit rhesus ternyata dapat dicegah.  Penyakit ini akan timbul kalau seorang wanita yang sedang hamil mempunyai darah per-rhesus negatif sedang bayi yang dikandungnya mempunyai darah rhesus-positif .  selama waktu sakit melahirkan beberapa sel darah merah yang beredar dalam Placentia terperas masuk ke peredaran darah ibunya.  Selama
beberapa Minggu sesudah itu darah merah yang asing di dalam peredarah darah ibu itu menyebabkan sang ibu membentuk antibodi-antibodi untuk melawannya dan lambat laun darah merah yang asing itu pun hancur.
Sang ibu tetap sehat seperti sediakala, tetapi kalau ia kemudian hamil lagi, beberapa di antara anti-bodi tersebut akan masuk ke peredaran darah bayi yang dikandungnya.  Kalau bayi ini Rhesus-positif, banyak dari darah merahnya akan hancur.  Kehancuran darah merah ini akan menimbulkan sakit kuning pada si bayi segera setelah tali pusatnya terputus karena hatinya (tidak seperti hati ibunya) tidak mampu melaksanakan pekerjaan yang sangat berat ini  tanpa mengalami kekurangan.
Cara untuk mengatasi masalah yang sulit ini – seperti banyak penemuan yang yang hebat lainnya – sangatlah sederhana.  Semua ibu yang per-Rhesus-negatif pada akhir sakit melahirkannya diberi suntikan anti-bodi Reshus (yang didapat dari sukarelawan pria).  Suntikan ini menghancurkan setiap sel Rhesus-positif yang mungkin telah memasukinya dari peredaran darah bayi selama sakit karena melahirkan, sebelum sel-sel tersebut sempat merangsang mekanisme pembentuk anti-bodi sang ibu.  Antibodi-antibodi yang disuntikkan itu akan bertahan hidup untuk beberapa Minggu saja dan kemudian akan hancur dan lenyap jauh sebelum ibu itu dapat menjadi hamil lagi.  Dengan demikian, tidak berbahaya bagi bayi-bayi yang akan datang.
Resiko ini berlaku pada kehamilan yang berakhir dengan keguguran.  Maka pentinglah bahwa setiap wanita yang barumengalami keguguran – entah sengaja atau spontan – golongan darahnya perludicek.  Kalau ternyata ia per-Rhesus-negatif, maka perlu suntikan antibodi diberikan.
Setelah penyakit Rhesus boleh dikata tidak termasuk sebagai penyebab penyakit kuning pada bayi, kita tinggal menghadapi sejumlah anak-anak yang tidak kecil menderita penyakit kuning karena hatinya belum cukup matang untuk melakukan pekerjaannya dalam pemecahan sel darah merah yang normal.  Sebagian besar bayi yang menderita penyakit kuning ”psikologis” ini adalah Wayi-bayi lahir dini yang  wajarlah kalau hatinya belum cukup dewasa.  Cara baru merawat bayi-bayi seperti itu ialah dengan menaruhnya telanjang bulat di bawah cahaya buatan.  Ternyata bahwa cahaya tersebut dapat menghancurkan pigmen penyebab penyakit kuning, dan si bayi tinggal menghadapi pigmen yang sudah tak berdaya ini.
Lampu khusus digunakan untuk penyinaran ini dan yang harus dilakukan adalah membuat agar retina mata anak tidak mengalami kerusakan karena pengaruh lampu tersebut.  Lampu khusus ini tidak mengeluarkan panas, maka kalau anak perlu dihangati harus digunakan inkubator.  Beberapa anak akan mencret oleh pengaruh lampu itu, tetapi biasanya tidak apa-apa.  Masalah satu-satunya adalah bahwa ibunya tidak mungkin megambil anak itu setiap saat dikehendakinya.  Dan juga beberapa ibu khawatir mata si kecil toh masih akan menderita kerusakan, meskipun sudah dibebat rapat-rapat. Tetapi sebenarnya hal itu tak mungkin terjadi.
Untunglah bahwa kebanyakan anak hanya membutuhkan tiga empat hari untuk perawatan ini dan tentang penyusuannya dapat dilakukan sebagaimana biasa kalau pembebat matanya dibuka.  Satu cara baru yang lain untuk merawat bayi yang menderita penyakit kuning ialah dengan memberinya sedosis kecil phenobarbitone.  Obat ini merangsang kemampuan hati untuk menghadapi bilirubin – pigmen yang menyebabkan penyakit kuning itu.  Obat tersebut tidak membawa kerugian apa-apa bagi si bayi dan jarang membuatnya mengantuk.  Ada kalanya penggunaan obat ini dikombinasikan dengan penyinaran, sebab keduanya mempunyai cara tersendiri dalam menghadapi bilirubiin.  Penyakit kuning selalu merupakan bahaya yang besar bagi bayi yang baru lahir, tetapi kedua cara perawatan terssebut biasanya cukup menjamin bahwa anak tidak memerlukan transfusi langsung untuk mengganti darahnya.
Pustaka:
Hugh Jolly. “Membesarkan Anak Secara Wajar”
(Petunjuk lengkap cara pameliharaan anak dari
seorang dokter ahli)
Minggu,
2i Juni 2015 – 11:10 WIB
Sita
Rose
Di
Pangarakan, Bogor  


"PENDIDIKAN DALAM KELUARGA": PENYAKIT KUNING PADA BAYI By Hugh Jolly: Sita Rose SAMPAI akhir-akhir ini kerap kali dokter terikat   oleh tugas memberikan transfusi pada bayi yang menderita penyakit kuning....

Sabtu, 09 Mei 2015

MERAWAT ANAK-ANAK DI RUMAH SAKIT DAN PENGASUHAN YANG KEIBUAN By Hugh Jolly


Image "Ibu" ( Foto: SP )
Pengasuhan yang keibuan
MERAWAT anak-anak di rumah sakit bukanlah sekedar keahlian medis dan perawatan saja. Seorang anak yang sakit dan dirawat di rumah sakit mungkin dapat sembuh sama sekali dari penyakitnya, tetapi sesudah pulang dari sana menderita akibat buruk “hospitalisasi” selama sisa hidupnya. Perpisahan seorang anak kecil dari orang tua, dan terutama dari ibunya atau tokoh-ibunya, mudah sekali menjadi traumatis selama ia masih kecil.  Tiadanya tanggapan ini menunjuk adan pengasuhan keibuan yang kurang normal.
Seorang penulis secara indah sekali membedakan pengasuhan keibuan ini dalam tiga tingkatan:
1. Tingkatan tertutup, yang dimulai  pada saat pertama kali ibu sadar akan hadir bayi baru dalam kandungannya dan selama masa bayi.  Pada tingkatan ini si bayi sepenuhnya tergantung kepada ibunya.
2.  Tingkatan perluasan, ketika si ibu menyadari bahwa si anak perluasan tugas dari ibu sendiri. Tingkatan ini mulai ketika anak kira-kira berusia dua tahun, dan paling kuat di antara usia dua dan empat tahun.  Kadang-kadang berlangsung sampai masa remaja, tetapi tidak selalu samabagi setiap anak.  Tingkatan perluasan ini ialah yang selalu kita ingat dengan istilah masa kanak-kanak.
3.  Tingkatan perpisahan, merupakan perkembangan suatu hubungan yang sehat antara ibu dan anak yang sudah mencapai masa remaja atau dewasa, setelah berhasil melewati kedua tingkatan sebelumnya.  Tingkatan tertutup bisa  kita  lihat dalam kehidupan khewan, tetapi pada tingkatan berikutnya, yakni tingkatan
perluasan, hampir tidak nampak sama sekali dan khewan langsung berpindah ke tingkatan perpisahan. Bagaimana ibu dan anak melewati setiap tingkatan psikologis ini sangatlah penting bagi pembentukan kepribadian anak dan perasaannya tentang dirinya sendiri, tentang orang lain dan dunia.  Jaranglah seorang ibu dapat melewati ketiga tingkatan itu secara sama berhasilnya. Kebanyakan berhasil paling baik pada satu tingkatan tertentu dan pada tingkatan yang paling dinikmatinya. Ketiga fungsi pengasuhan keibuan ini dapat beralih untuk sementara dan bahkan seketika karena pengaruh keadaan. Mengerti ketiga tingkatan pengasuhan keibuan ini adalah penting bagi mereka yang bekerja di rumah sakit agar dengan demikian dapat menghadapi  anak  maupun  ibunya menurut tingkatan psikologis masing-masing anak yang harus dirawatnya.  Hanya dengan begitulah kebutuhan setiap pasien dipenuhinya. Kekalutan seorang anak karena perpisahan dengan ibunya itu, jika tidak ditangani dengan tepat, bisa membuat anak jadi sangat diam dan beku, menarik diri dari segala lingkunggannya.  Dan betapa menyedihkan, bahwa anak yang diam beku serupa itu oleh perwatnya dianggap sebagai pasien yang “baik” karena kurang tahunya tentang akibat perpisahan dengan ibunya yang terlampau lama.

Di negara yang sudah maju, seperti misalnya di Inggris dan Amerika, terdapat apa yang disebut spesialis permainan untuk membantu anak-anak yang terpaksa tinggal lama di rumah sakit.  Dengan pengertian tentang perkembangan anak dan pekerjaan rumah sakit, para spesialis terssebut mengusahakan agar anak jangan menderita gangguan selama hidup karena perpisahannya dengan ibu dan lingkungan keluarga. Mereka bekerja sama dengan orang tua dan staf rumah sakit, sehingga tidak hanya pengaruh traumatis rumah sakit terhadap anak dapat diperkecil, tetapi tinggalnya anak di rumah sakit itu menjadi pengalaman yang menguntungkan bagi seluruh keluarga. Para spesialis permainan itu membuat pekerjaan dokter dan perawat jadi lebih ringan karena mereka itu diberi kesempatan untuk bersama anak-anak yang sakit itu sepanjang hari.  Permainan adalah penting juga bagi para perawat yang bekerja di bagian kanak-kanak, sekalipun para perawat itu mempunyai kewajiban-kewajiban lain yang tidak sejalan dengan hal itu.  Mereka kerakali terpaksa menghentikan mereka dengan anak-anak karena dipanggil atau harus mengerjakan tugas perwatan yang lain.
Seorang anak bermain sepanjang waktu baik pagi maupun sore, kecuali pada saat tidur. Permainan di rumah sakit tidak hanya ia berbahagia, tetapi juga membuat hal-hal baru dan asing yang harus dialami di rumah sakit itu jadi tidak terlalu berat.  Agarhal ini tercapai, maka permainan anak-anak itu hendaklah menjadi bagian dari kegiatan rumah sakit yang biasa, baik di samping tempat tidur maupun di ruang bermain yang khusus diadakan untuk itu. Dalam hal ini di Amerika Serikat bahkan agak umum bahwa ruang bermain tersebut dianggap sebagai ruang yang terpisah hampir sepenuhnya dari kegiatan rumah sakit yang lain. Dokter dan perawat hanya boleh masuk kalau mereka menurut peraturan-peraturan tertentu.  Memeriksa dada anak atau mengambil temperaturnya di ruang bermain akan dipandang dengan muka masam oleh para spesiali, dan mengambil darah seorang anak mungkin akan menimbulkan pertentangan yang sungguh-sungguh. Tentu saja yang wajar fungsi ruang bermain itu adalah untuk membantu anak-anak mengatasi keadaan yang kurang menyenangkan di rumah sakit, bukan untuk menyekat mereka dari kehidupan rumah sakit.  Banyak anak yang akan membiarkan dirinya entah diambil darahnya  atau entah apa yang agak menyakitkan sambil bermain-main, sedangkan di tempat tidurnya merek akan menjadi ketakutan karena hal yang sama. Pada kesempatan-kesempatan seperti itu, kehadiran anak-anak lain dapat sangat membantu karena berbuat berani di depan anak-anak lain adalah membanggakan.
Hubungan antara staf spesialis permainan dan staf medis dan para perawat akan selalu baik asal staf spesialis permainan ikut membantu anak-anak untuk mengatasi prosedur-prosedur kurang menyenangkan yang bagaimanapun harus dilakukan oleh dokter dan para perawat atas anak-anak dalam rawatan mereka itu. Jika ruang permainan dianggap keramat yang tak boleh dimasuki dokter dan perawat, maka sebentar lagi anak-anak akan menganggap para spesialis itu pahlawan, sedang para dokter dan perawat “orang-orang jahat. Anak yang sangat sakit mungkin merasa lebih tenang jika berada dalam ruang permainan yang santai dan tidak terasa asing dibandingdalam kamar sakit atau sal.  Hal itu menuntut tingkatan perawatan yang lebih tinggi dan kerjasama yang lebih baik antara staf spesialis dan staf perawatan; tetapi karena anak kecil yang sakit, seperti juga orang dewasa yang sakit, akan lebih mudah menjadi baik kembali, maka apapun yang bisa mencapai hal itu hendaknya diperkenankan.
Referensi:
Hugh Jolly,
Membesarkan Anak Secara Wajar

Sabtu, 09 Mei 2015 – 14:42 WIB
Sita Rose di Bumi Pangarakan, Bogor

Sabtu, 18 April 2015

MENGENANG PEJUANG EMANSIPASI WANITA "R.A. KARTINI ( 1879-1959 )



R.A. Kartini ( 1879-1969 )

Sabtu, 18 April 2015 - SIAPA yang tak kenal dengan sosok Kartini? Seorang tokoh pejuang pergerakan wanita yang begitu gigih dalam memperjuangkan hak kaum perempuan untuk memiliki hak yang sama dengan kaum lelaki. Ya, Kartini tercatat dalam sejarah sebagai pejuang emansipasi wanita, pelopor kebangkitan kaum perempuan dari Jawa. Lahir di Kota Jepara pada tanggal 21 April 1879 dari seorang ibu bernama M.A Ngasirah anak dari Nyai Hajah Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur. Ayahnya seorang bangsawan Jawa, bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara putera dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV yang diangkat menjadi Bupati dalam usia 25 tahun. Dari sebelas bersaudara kandung dan tiri, Kartini merupakan anak ke-5 dan tertua dari saudara perempuan sekandungnya yang lain bernama, Kardinah dan Roekmini. Kakak laki-lakinya bernama Sosrokartono adalah seorang yang pintar dan menguasai berbagai macam bahasa terutama bahasa Belanda. Ia banyak belajar bahasa Belanda dari kakaknya itu, dan mendapat izin untuk memperdalam bahasa Belanda di “ELS” (EuropeseLagere School) hingga usia 12 tahun sampai akhirnya dipingit karena akan dikawinkan olehK.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang.

Kartini, Kardinah, dan Roekmini



Penguasaan dan kepandaian Kartini dalam berbahasa Belanda, digunakannya untuk menulis surat kepada salah satu teman akrabnya, Rosa Abendanon yang berasal dari Negeri Belanda. yang banyak mengindor atau mendukung pemikiran, ide dan gagasan-gagasannya. Kegemarannya membaca, baik dari koran, majalah dan buku-buku Eropa, menambah wawasan pemikiran Kartini yang semakin luas. Inilah yang menambah semangat dan membangkitkan motivasi Kartini mewujudkan cita-citanya memajukan derajat kaum perempuan pribumi yang masih rendah status sosialnya dengan membangun sekolah pendidikan keputrian.  Gagasan Kartini itu mendapat dukungan dari residen Semarang, Mr. Stijthof setelah membaca keritikan dari Conrad van De Venter lewat tulisan-tulisannya di majalah De Gid yang menjelaskan bahwa, “orang Belanda sangat berhutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah memberikan devisa Negara yang begitu besar kepada Belanda. Dan, pemerintah colonial harus mengembalikan hutang sebesar 187 juta Gulden melalui proyek-proyek kemanusiaan, salah satunya adalah pendidikan”. ”.)*Sri Hartatik, A.Ma.Pd. “Kumpulan Kisah Pahlawan Indonesia”hal. 66

Dalam masa pingitannya Kartini terus memikirkan, bagaimana caranya agar Ia bisa melanjutkan pendidikannya ke Batavia atau ke Eropa. Cita-cita Kartini yang paling luhur adalah berkeinginan besar untuk menjadi guru sebagaimana ucapannya, 

“Saya ingin dididik menjadi guru. Ingin mencapai dua ijazah, yaitu ijazah guru sekolah rendah dan ijazah guru kepala. Mengikuti kursus pelatihan kesehatan, ilmu balut-membalut, pemeliharaan dan perawatan orang sakit, memperdalam seni kerajinan danketerampilan serta ilmu pengetahuan yang lain”.)*ibid hal. 65
Dalam pandangan dan pemikiran Kartini, apabila kaum perempuan telah memiliki kecerdasan dan pengetahuan yang luas, jika kaum perempuan telah memiliki sejumlah keterampilan sebagaimana yang dimiliki oleh kebanyakan kaum lelaki, maka akan datang masanya kaum perempuan tak lagi terikat melulu bergantung kepada kaum lelaki. Kartini menyatakan, 

“Dari kaum perempuanlah seorang manusia pertama-tama menerima pendidikan dan pembelajaran, mulai belar merasa, berpikir dan belajar berkata-kata”. Kartini menegaskan pula dalam satu surat yang ditulisnya, “Bagaimana ibu-ibu Bumi putera dapat mendidik anak-anaknya jika mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapatkah mereka, kaum ibu, dipersalahkan yang karena ketidaktahuannya, karena kelemahan dan karena kebodohannya yang tidak disadarinya itu hingga merusak masa depan anak-anaknya”.)* ibid. hal. 65
R.A. Kartini bersama Suami, K.R.M. Djojodiningrat



Belenggu tradisi adat yang telah mengikat dan berakar kuat bagi kebebasan seorang wanita di masa itu membuat keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah keputrian dan melanjutkan pendidikannya ke Eropa gagal. Akan tetapi Kartini terus mencari akal untuk bisa melanjutkan sekolahnya itu. Ayahnya tak bisa berbuat banyak untuk menentang tradisi. Meskipun Ia sangat mendukung cita-cita Kartini putrinya itu untuk mendirikan sekolah keputrian bagi kaum perempuan Bumi putera. Agar apa yang menjadi harapan Kartini dapat terkabul, ayahnya yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosrodiningrat memilih dan meyakinkan Kartini bahwa calon suami yang cocok dan tepat untuk Kartini sesuai dengan harapan dan cita-citanya mendirikan sekolah keputrian bagi perempuan Bumiputera dan melanjutkan pendidikannya di Eropa, adalah Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat, Bupati Rembang. Karena berdasar kesepakatan dengannya, Bupati Rembang itu akan selalu mendukung dengan apa yang menjadi cita-cita Kartini. Dan, Kartini meskipun hati nuraninya menolak, akan tetapi demi kepentingan yang lebih besar, demi kemajuan kaum wanita, pada akhirnya menyetujui juga dengan jodoh pilihan orang tuanya dikawinkan dengan Bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat yang sudah pernah memiliki istri tiga orang itu. Ya, Kartini merelakan jiwa dan raganya untuk menikah dengan orang yang sudah beristri demi cita-citanya memajukan derajat kaum perempuan seperti dirinya. Jelang perkawinannya, Kartini sangat merasakan dengan suatu hal yang tak bisa dirubah. Sahabat karibnya, Stella Zeehandelaar tidak bisa memahami keputusan Kartini untuk menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah beristri lebih dari satu itu. Akan tetapi Kartini sudah mengadakan kesepakatan-kesepakatan dengan calon suaminya itu. Ia tidak akan menggunakan bahasa kromo inggil pada suaminya seperti pada kebiasaan tradisi yang dilakukan seorang istri pada suaminya di zaman itu. Kartini tidak akan membasuh kaki sang suami pada saat upacara perkawinannya kelak. Diizinkan untuk membangun sekolah keputrian untuk kemajuan bangsanya, kaum wanita.
 
Pelaksanaan upacara pernikahan Kartini dengan K.R.M Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat pada tanggal 12 November 1903. Suaminya ternyata sangat mengerti dengan keinginan Kartini. Bahkan Kartini diberi kebebasan dan mendapat dukungan sepenuhnya untuk mendirikan bangunan sekolah keputrian yang berlokasi di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang. Sekarang bangunan tersebut digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Sekolah Kartin 1918


Di sekolah yang didirikannya ini Kartini mengekspresikan segala ide dan gagasan-gagasannya dengan leluasa karena sangat didukung oleh suaminya yang memiliki kedudukan cukup tinggi sebagai Bupati di Rembang. Di sekolah keputrian ini Kartini mengajarkan berbagai seni kerajinan dan keterampilan, kesehatan dan perawatan di samping ilmu pengetahuan yang lain.

Batik motif daun dan bunga ide Kartini
Meja makan dengan ukiran motif Kartini










Ternyata Kartini selain dikenal dalam sejarah sebagai pejuang emansipasi wanita, Ia dikenal juga sebagai seorang seniwati. Pelopor dalam bidang disain modern, perancang seni ukir dan batik. Salah satu upaya Kartini untuk mengembangkan, merealisasikan ide dan gagasannya di sekolah kepandaian putri yang didirikannya itu dengan mengajarkan sendiri kepada murid-muridnya berbagai pengetahuan dan keterampilan terutama kerajinan ukiran dan ragam hias batik. Kemahiran dan kecakapan Kartini dalam seni ukir, seni batik dan menggambar inilah yang memotivasi Kartini untuk selalu kreatif. Mencari inovasi-inovasi baru dalam bidang seni rupa dan disain. Dalam karya-karyanya Kartini selalu berupaya memasukkan konsep-konsep keindahan dan nilai-nilai tradisi Jawa, meskipun sudah mengalami pembaharuan-pembaharuan sehingga bentuknya menjadi lebih modern. Pembaharuan ini bisa dilihat dari beberapa karya-karya Kartini seperti yang terdapat pada kotak perhiasan, pigura, kursi rotan, dan batik. Ada salah satu batik motip bunga karya R.A. Kartini yang sampai sekarang masih sangat digemari masyarakat, bahkan menjadi motif standar dijadikan acuan dasar pembuatan  seni ukir kayu Jepara yaitu motip "LunglunganBunga". Bahkan hingga kini motip lunglungan bunga menjadi ciri khas motip "Jepara Asli". 

Dari perkawinannya dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojoadiningrat, Kartini dikaruniai seorang putera, Anaknya yang  pertama dan sekaligus juga yang terakhir yang diberi nama, Soesalit Djojoadhiningrat yang dilahirkan pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, pada tanggal 17 September 1904, Kartini menghembuskan nafasnya yang terakhir pada usia relative muda 25 tahun. Jenazah R.A. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihan Kartini memperjuangkan derajat kaum wanita agar memiliki  persamaan hak dalam pendidikan, Yayasan Kartini yang didirikan oleh keluarga “Van Deventer” seorang aktifis politik etis(balas budi) di Semarang pada 1912, mendirikan sekolah Kartini di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya dengan nama   "Sekolah Kartini".  

Begitu pula seorang komponis, pahlawan nasional W.R. Soepratman pencipta lagu Indonesia Raya, menciptakan sebuah lagu khusus untuk mengenang jasa R.A. Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita yang tak kenal lelah bahkan merelakan jiwa raganya untuk kemajuan kaum perempuan melalui pendikan, diberi judul “R.A. Ajeng Kartini”. 

Referensi:

*Sri Hartatik, A.Ma,Pd “Kumpulan Kisah Pahlawan Indonesia”. Bintang Indonesia
*Slamet Priyadi, Drs. “R.A. Kartini Juga Seorang Seni Wati” Forum Guru Seni Budaya
*Agus Sachari, “Seni Rupa dan Disain” Erlangga
*Wikipedia Bahasa Indonesia, “R.A. Kartini”. google.com

Penulis:
Slamet Priyadi  Pangarakan - Bogor

Sabtu, 14 Februari 2015

HUGH JOLLY: "BAYI LAHIR MATI"



Blog Sita Rose – Minggu, 15 Februari 2015 – 01:54 WIB

TIDAK JARANG terjadi, bayi lahir sudah dalam keadaan tak bernyawa, yang disebut bebang. Sungguh sayang dan kurang berpengertian, banyak orang tua bayi bebang semacam itu tidak dibantu untuk berkabung atas kehilangter mereka an mereka. Seringkali terjadi bahwa orang tua tidak ikut terlibat dalam upacara pemakaman, bahkan ada yang tidak mengetahui tempat dikebumikannya. Bukan satu dua kali terdengar keluhan dari orang tua bahwa mereka tidak ikut terlibat dalam pemakaman bayi mereka yang lahir mati dan karenanya terus-menerus kedatangan rasa menyesal. Banyak ibu yang mengalami kematian bayi dalam kandungan menjadi sangat tertekan, sehingga mau tidak mau berkesimpulan bahwa mereka kurang dibantu dalam menangisi kehilangan itu dan menuntaskan kesedihan mereka — yang sangat berbeda dengan “melupakannya” atau “tak mempedulikannya lagi”.

Ibu-ibu yang bayinya mati dalam kandungan menjadi gelisah khususnya pada kehamilan berikutnya dan beberapa waktu setelah melahirkannya. Kadangkala, selagi bercakap-cakap dengan ibu yang sangat gelisah yang baru saja melahirkan bayinya, orang jadi tahu bahwa sebelum itu ia telah kehilangan anak karena lahir mati. Kegelisahan ibu semacam ini kerap kali berpengaruh pada anak yang berikut sampai besar. Pernah dalam konsultasi dengan dokter terungkap bahwa gangguan lambung seorang anak berusia enam tahun ternyata terpengaruh oleh kecemasan hati ibunya karena teringat anak terdahulu yang lahir mati. Di antara tetesan air mata ibu itu mengatakan bahwa setiap ia melihat seorang gadis seusi delapantahunan , ia jadi teringat akan Christine, putrinya yang mati dalam kandungan delapan tahun yang lalu. Ibu tersebut, sebagaimana banyak ibu lainnya, tidak mengetahui persis tempat dimana dikuburkannya putrinya dan ia sangat ingin mengetahuinya. Banyak pula ibu lain yang mengetahui kubur tempat dikebumikannya putrinya yang lahir mati, akan tetapi jarang pula di antara mereka yang mengetahui dengan tepat dimana lokasi kubur putrinya itu dikebumikan. Bahkan ada beberapa ibu yang sengaja tidak diberitahu oleh suaminya dengan maksud agar jangan sampai teringat-ingat selalu. Namun justru dengan itu malah terjadi kebalikannya, sang ibu malah merasa sangat kehilangan dan malah selalu teringat-ingat oleh bayinya itu. Dan, Baru sekaranglah dokter dan staf rumah sakit berpendapat bahwa satu-satunya cara meringankan kesedihan karena kehilangan bayi sebelum sempat menyayanginya ini ialah dengan melibatkan orang tua sepenuh-penuhnya pada pengurusan terakhir bayi mereka. Sebelumnya biasalah rumah sakit yang mengambil alih “penguburan” bayi yang lahir mati itu dari tangan orang tua.

Lalu bagaimanakah orang harus bertindak pada kelahiran bayi tak bernyawa lagi seperti itu? Semua ibu yang bayinya telah tak bernyawa sebelum sakit melahirkannya mulai hendaklah diberitahu sebelum kelahiran. Namun sebenarnya hal  itu sudah dapat diketahui dengan sendirinya oleh sang ibu, sebab berhentinya gerakan dalam kandungan itu sangat jelas. Suaminya lebih baik berada di ruang bersalin untuk memberikan bantuan moril dan berbagai kesedihan. Staf rumah sakit yang sudah tahu bahwa bayi yang akan dilahirkan sudah mati dan bahwa kedua orang tua sudah tahu juga, kemudian dapat menciptakan suasana yang lebih realistis dan penuh simpati. Baik ayah maupun ibu hendaklah diberi kesempatan melihat dan memegangi bayi mereka yang sudah mati pada kelahiran itu. Hal ini berlaku pula pada bayi-bayi yang matinya sudah beberapa waktu sebelumnya. Dalam hal ini segala sesuatu harus dilakukan dengan penuh perasaan di pihak staf rumah sakit. Baru-baru ini seorang pria yang sudah berpesan kepada rumah sakit agar ia dipanggil pada saat kelahiran bayinya yang diketahui sudah tak bernyawa, dapat memberanikan istrinya untuk mula-mula meraba kaki bayinya yang masih tertutup selimut dan kemudian untuk memandangi wajah bayi itu yang sudah tak bernyawa. Memperlihatkan bayi yang sudah mati itu hendaknya dilaksanakan juga meskiun bayinya cacad. Bagi kebanyakan orang tua, cacad yang sudah sungguh-sungguh dilihat jauh kurang mengerikan dari pada cacad yang hanya dibayangkan. Semua itu banyak tergantung dari bagaimana orang menangani situasinya. Biasanya dengan diperlihatkan terlebih dahulu bagian yang utuh.

Bagi seorang ibu yang baru mengalami kematian bayinya dalam kandungan, yang paling sangat diperlukan ialah seorang pendengar yang penuh perhatian. Kesulitannya ialah bahwa dokter dan perawat di rumah sakit biasanya kurang terlatih dalam hal menghadapi kematian pasien, yang bisa tidak bisa dapat menimbulkan rasa kegagalan personal. Mungkin orang awam kurang menyadari betapa dokter dan perawat dihinggapi rasa sedih dan sedikit banyak rasa bersalah pada setiap kematian pasien yang berada di tangan mereka. Perasaan ini membuat mereka berusaha keras untuk mengupayakan kesembuhan pasien, meskipun sebenarnya sudah jelas tak tersembuhkan. Mengunjungi pasien dan bercakap-cakap dengannya serta sanak keluarga yang menungguinya, sedang pasien itu sudah menanti ajal, merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan.
   
Pustaka:
Hugh Jolly. “Membesarkan Anak Secara Wajar”
(Petunjuk lengkap cara pameliharaan anak dari seorang dokter ahli)

sabtu, 14 Febuari 2015 – 23:33 WIB
Sita Rose
Di Pangarakan, Bogor